Jun 9, 2014

Lessons from Talaud, North Sulawesi, Indonesia

This article in Indonesian language was written to be submitted in a contest called Get Stranded sponsored by Telkomsel. It didn't win, but I'm happy with this piece, so I decided to post it here :) 
In brief, this post is about being 'stranded' in Talaud Island, North Sulawesi, Indonesia. I wasn't stranded for real, but Talaud is a remote island that I could relate some experiences with being stranded. 





“Hei, Kak, ambil ini ikannya, buat kamu. Ya, ambil saja..,” seru seorang wanita kepada beberapa orang yang hilir mudik di depannya. Ia berdiri di samping kantung-kantung plastik biru yang masing-masing berisi empat ekor ikan tude, siap untuk dibagi-bagikan.

Selama ini, yang saya tahu, nelayan menangkap ikan untuk dijual ke masyarakat. Lalu, kenapa wanita tadi malah membagikannya dengan cuma-cuma?

“Ini buat kampanye, Kak,” sahut wanita itu, ketika saya menanyakannya langsung. “Saya bagikan empat masing-masing orang, supaya nanti mereka coblos nomor 4!”

Oalah, ternyata ini bagian dari kampanye pemilihan caleg! Saya dan teman saya, Mumun, tak bisa menahan tawa takjub. Membayar pemilih dengan uang, sih, kami sudah sering dengar. Nah, barter dengan ikan, ini hal baru bagi kami!

“Konsepnya kuat! Pilih nomor 4, ya ikannya juga empat ekor! Repot juga, ya, kalau partainya nomor 17, misalnya. Bisa bangkrut!” saya berkilah, yang disambut tawa Mumun.



Kala itu matahari masih sekitar 50 derajat kemiringannya, menerangi pasar tradisional yang terletak di tepi pantai desa Beo, Pulau Talaud. Para nelayan kembali dari laut membawa tumpukan ikan di perahu mereka. Para penduduk desa, termasuk anak-anak, mengerumuni perahu-perahu itu, berebut ikan-ikan yang paling segar dan besar untuk diborong.

Suasana pasar ramai sekali, mungkin karena hari itu hari Minggu. Ada yang sibuk berdagang dan memilih-milih sayur segar, ada pula yang sekadar melihat-lihat dan bersosialisi di tepi pantai sambil memperhatikan hasil tangkapan nelayan pagi itu. Beberapa ekor babi dan anjing pun ikut meramaikan suasana, mengais-ngais makanan dari hamparan sampah di tepi pantai. Seorang nelayan melintasi hamparan sampah itu seraya menggotong seekor penyu di atas kepalanya. Ukuran penyu sekitar 50 sentimeter diameter cangkangnya.

“Penyu ini untuk dimakan, Pak?” tanya Mumun, miris. Bagaimana tidak miris, karena setahu kami, jumlah penyu di dunia sudah semakin menyusut dan termasuk hewan yang dilindungi.

“Ah, nggak. Ini untuk anak saya di rumah. Jadi teman main,” jawab bapak itu santai, membuat kami semakin miris. Anaknya yang masih sekitar usia sepuluh tahun menyambut sang ayah dengan gembira. Mungkinkah sosialisasi bahwa penyu hewan dilindungi belum sampai ke Kabupaten Kepulauan Talaud ini? Walaupun gatal sekali rasanya ingin memberi tahu, tapi kami berusaha tahu diri. Kami hanya tamu yang singgah di pulau ini selama beberapa hari. Tahu apa kami tentang cara hidup dan kebutuhan masyarakat di sini?



Lalu kami hendak meninggalkan pasar untuk mencari kedai. Perut mulai keroncongan karena tadi pagi tidak sempat sarapan. Kami melewati pangkalan bentor – becak dan motor yang digabungkan menjadi satu kendaraan – di jalan keluar dari pasar. Para pengemudi bentor menawarkan jasanya, tapi kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Selain ingin menikmati suasana Desa Beo, kami pun ingin berhemat. Pasalnya, kami tak tahu akan sampai kapan kami berada di pulau terpencil ini. Bagaimana kalau ternyata kami kehabisan uang sebelum bisa pulang ke Jakarta?

Biaya hidup di Pulau Talaud cukup tinggi. Makan di kedai sederhana semacam warteg, dengan menu nasi putih, ayam bakar, dan lalap, total mencapai Rp 25.000,00. Di warteg-warteg di Jakarta, menu yang serupa bisa hanya dihargai setengah atau dua pertiganya.

Dulu saya mengira, semakin kecil suatu kota atau daerah, semakin murah pula biaya hidupnya. Setelah semakin sering melanglang di nusantara, saya menyadari bahwa perkiraan saya itu salah. Ternyata, ada faktor akses. Semakin sulit suatu tempat diakses dari pusat komoditi, akan semakin tinggi segala biaya di situ.



Beberapa hari kemudian, saat kami berada di pelabuhan Beo, kami melihat kendala akses tersebut secara nyata. Tak terhitung penumpang yang menggotong berbagai keperluan sehari-hari dari Manado, seperti berkarung-karung bawang putih, cabai, mainan anak-anak, hingga barang-barang besar seperti mesin cuci, kulkas, motor, bahkan pagar besi! Jangan kira mereka bisa membawa barang-barang itu kapan saja mereka mau. Jadwal kapal berlayar hanya sekitar dua kali per minggu, dengan waktu tempuh sekitar 17 jam antara Beo dan Manado, atau 15 jam antara Melonguane dan Manado. Ruangan penumpang terbanyak merupakan semacam bangsal dengan tempat tidur bertingkat yang dilapisi matras tipis, tanpa pendingin ruangan, dan bebas merokok di mana saja. Kamar-kamar eksekutif tersedia, dilengkapi pendingin ruangan, namun harga tiketnya hampir Rp 500.000,00 per orang, dua kali lipat tiket ekonomi alias ruangan bangsal tadi.

Naik pesawat? Bisa, tapi tidak tiap hari ada penerbangan. Kami mencapai Melonguane naik pesawat baling-baling dari Manado. Hanya ada dua maskapai yang melayani rute tersebut, Wings Air dan Express Air. Jadwalnya jarang seperti gigi bayi berumur satu tahun, hanya sekitar dua kali bolak-balik per minggu untuk tiap maskapai. Harga tiketnya pun tidak murah, sekitar Rp 750.000,00 per orang.

Dengan akses terbatas seperti itu, wajar saja harga-harga melambung di Talaud. Bensin Rp 12.000,00 atau Rp 13.000,00 per liter, bandingkan dengan Rp 6.500,00 per liter di Jakarta. Kebayang, kan, kalau harga bensin saja sudah mahal, apalagi yang lain-lainnya? Walau begitu, tak sekalipun saya mendengar keluhan dari warga yang berinteraksi dengan kami, tidak seperti supir taksi di Jakarta yang kerap mengeluhkan kemacetan atau pekerja kantor yang sering mengeluhkan pekerjaannya walaupun gaji selalu masuk ke rekening tepat waktu.



Pulau Talaud ini pulau terbesar di Kepulauan Talaud, di utara Pulau Sulawesi. Mungkin kebanyakan orang Indonesia lebih sering mendengar nama Sangihe Talaud, yaitu nama dua kepulauan di perbatasan antara Indonesia dan Filipina, atau mendengarnya di jingle iklan salah satu produk mi instan. Mungkin juga, lebih banyak lagi orang Indonesia yang belum pernah mendengar tentang keberadaan kedua kepulauan kecil ini. Tak heran, karena daerah ini memang jauh dari mana-mana, dan rasanya jarang disebut dalam buku pelajaran sekolah. Mencari informasi tentang pulau ini di Internet maupun di buku Lonely Planet merupakah sebuah tantangan berat! Sedikit sekali informasi yang tersedia.

Lalu, untuk apa saya jauh-jauh ke Talaud?

Persis pertanyaan yang sering ditanyakan penduduk setempat pada saya dan Mumun. Mulai dari penjaga toko kelontong sampai pegawai Dinas Pendidikan yang ngobrol dengan kami saat makan siang di suatu kedai, hampir semua orang yang berinteraksi dengan kami menanyakan sedang apa kami di Talaud. Pertanyaan itu biasanya muncul setelah menanyakan asal kami. Mereka yakin betul bahwa kami bukan orang Talaud asli, dari logat bicara, dan kebiasaan memotret hampir semua objek yang kami lihat.

“Jalan-jalan aja, kok,” saya dan Mumun bergantian menjawab pertanyaan yang itu-itu lagi.

“Ada penelitian?” Si penanya biasanya mengira demikian.

Nggak, cuma jalan-jalan aja,” tak lupa kami imbuhkan senyuman termanis.

“Oh, mahasiswa, bukan? Sedang KKN?” Walaupun itu berarti kami terlihat sangat awet muda, tapi tetap mereka tidak percaya bahwa kami ke Talaud hanya untuk jalan-jalan.

Rupanya hampir tidak ada orang yang datang jauh-jauh dari Jakarta ke Talaud hanya untuk melancong. Kebanyakan orang datang ke Talaud untuk keperluan pekerjaan, penelitian, KKN, atau untuk tinggal permanen dan mencari penghidupan. Namun, bagi saya, tak masalah suatu tempat itu sejauh apapun, kalau memang ada kemauan, dana, dan waktu, saya akan berusaha mencapainya, walaupun itu hanya untuk menjawab rasa penasaran saya akan suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi.



Kepulauan Talaud sudah membuat saya penasaran sejak bertahun-tahun. Kalau ditanya kenapa, saya tak punya jawabannya. Rasanya, rasa penasaran tidak selalu ada alasannya. Ingin tahu, ya ingin tahu. Tindakannya cuma satu, mencari tahu. Kebetulan sekali ada ajakan untuk menyelam di Bunaken bersama empat orang teman lainnya. Spontan saya meyakinkan Mumun untuk meneruskan perjalanan ke Talaud, mumpung Bunaken sudah dekat sekali, sama-sama di Provinsi Sulawesi Utara. Mumun yang memang selalu mudah diajak ke mana-mana, tak pakai pikir panjang lagi, langsung bersetuju untuk ikut ke Talaud.

Rasa penasaran itu juga yang sempat membuahkan rasa tegang di malam pertama kami menginap di Melonguane. Ketika sedang nikmat melahap ayam goreng di suatu kedai makanan Jawa, saya menerima telepon dari suami saya, Diyan, di Jakarta.

“Vi, aku baca berita, ada tsunami warning, efek dari gempa bumi di Chili. Talaud juga kena warning,” nada suaranya sangat datar di ujung telepon. Wah. Itu nada suaranya yang paling mengkhawatirkan karena itu nada suaranya jika sedang khawatir. Kemudian Diyan meminta saya dan Mumun agar menjauhi laut sebisa mungkin. Namun, bagaimana mungkin? Penginapan kami saja di tepi pantai, Hotel Pantai Mutiara yang teras belakangnya berbatasan langsung dengan laut. Saya pun jadi khawatir. Bukan hanya keselamatan saya dan Mumun yang saya khawatirkan, tapi juga perasaan suami, orang tua, dan kakak-kakak saya yang tentu akan bersedih jika terjadi apa-apa dengan saya. Itu malam pertama kami di Talaud, tapi sempat rasanya saya ingin langsung pulang saja ke Manado lalu Jakarta.

Setelah berdiskusi, Mumun dan saya memutuskan untuk tetap bermalam di Hotel Pantai Mutiara. Di kamar, kami memantau running text salah satu TV berita. Menurut media nasional itu, peringatan tsunami hanya berlaku untuk Papua dan Maluku. Sedikit lega, dan akhirnya saya bisa tertidur sekitar pukul 10 malam, tetap dengan hati waswas.

Pukul 6 pagi saya sudah terbangun. Bergegas saya keluar kamar dan melihat situasi. Ibu pemilik hotel tengah menyapu lorong kamar, anaknya yang masih balita berlari-lari riang di halaman. Melongok ke teras belakang, saya lihat laut nampak tenang, tak ada yang lain dari biasanya. Saya memang bukan ahli kelautan yang mengerti tanda-tanda tsunami, tapi setidaknya perasaan saya saat itu mengatakan cuaca akan baik-baik saja.

Sampai akhirnya lewat dari pukul 7.30 pagi, waktu yang diperkirakan BMKG akan terjadi tsunami di Talaud. Tidak ada apapun yang nampak berbahaya di laut. Fiuh! Bukan main leganya. Mungkin kejadian ini tidak ada apa-apanya dibandingkan ‘near death experience’ yang sering saya tonton di film-film. Namun, kejadian itu saja cukup membuat saya menjadi lebih bersyukur akan hidup dan orang-orang yang menyayangi saya.



Karena keadaan sudah aman, kami melanjutkan hari dengan menyeberang ke Pulau Sara Besar, seperti yang sudah direncanakan. Menyeberang ke sana diperlukan waktu sekitar 30 menit dengan kapal cepat ala kadarnya. Pulau tak berpenghuni ini memiliki pantai putih bersih yang aduhai dan air yang jernih dengan permukaan berwarna gradasi dari hijau toska ke biru tua. Inilah pantai yang pasti bisa menggoda turis dari mana pun untuk ingin berlibur ke sana, kecuali yang takut kulitnya menghitam. Disebut Sara Besar karena tak jauh dari situ terdapat pulau serupa dengan ukuran lebih kecil, Pulau Sara Kecil.

Pulau Sara Besar biasa menjadi destinasi liburan masyarakat Talaud, tapi tidak ada penyewaan peralatan snorkeling di sana. Untung saja kami membawa peralatan sendiri dari Jakarta. Walaupun kami menemukan beberapa sampah di dasar laut, seperti botol plastik dan bungkus kudapan, secara keseluruhan pantai Sara Besar masih sangat bersih. Airnya pun relatif tenang di pagi itu, hanya ada sedikit arus.

Melihat ini, saya tak heran bahwa Kepulauan Talaud disebut paradiso oleh orang Belanda di masa kolonial. Entah itu istilah dari bahasa apa, tapi artinya paradise alias surga. Belum lagi hasil pala, kayu manis, dan kelapa yang tumbuh subur di tanah Talaud. Betapa kepulauan ini adalah surga bagi bisnis VOC!



Berada di pulau terpencil ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, rasanya seperti terdampar di tanah antah-berantah. Jauh dari sanak-saudara, teman-teman, tidak ada mal, tidak ada asap busuk dari knalpot Kopaja. Terlebih lagi, komunikasi dengan dunia luar pun sangat terbatas. Sinyal GSM yang selamat sampai di Talaud hanyalah Telkomsel.

Selama berada di sana, saya yang terbiasa mengakses media sosial hampir setiap saat, harus bersabar menunggu linimasa Twitter saya terperbarui, sampai pada suatu titik saat saya tidak lagi berusaha membukanya. Hanya terdapat satu dua warnet di Melonguane dan Beo, dengan koneksi Internet yang payah. Pantas saja saya tidak mendengar pembicaraan tentang tsunami dari penduduk lokal. Mungkin mereka tidak tahu sama sekali adanya kabar tersebut, yang memang hanya beredar di media sosial. Kalau sudah begitu, saya pun tidak tahu, apakah keterbatasan komunikasi merupakan sesuatu yang merugikan karena menghambat kita untuk lebih waspada, atau justru menguntungkan karena tidak sampainya isu yang hanya membuat panik?

Di luar semua itu, saya merasa disambut dengan baik di Talaud karena keramahan penduduknya. Mereka memang heran kenapa saya ke situ, tapi sepertinya tidak ada yang curiga macam-macam. Banyak yang mengajak ngobrol, terutama sesama perantau dari Jawa dan Sumatra. Saya bisa merasakan antusiasme mereka berbicara dengan kami, semacam ada rasa rindu mereka terhadap kampung halaman. Seorang bapak tua bahkan sengaja mengajak kami berkenalan di toko kelontong, ketika ia mendengar kami bercakap-cakap dengan pemilik toko. Ia pun kemudian bercerita panjang lebar mengenai kisahnya terdampar di Talaud hingga akhirnya menetap sampai 32 tahun.

Saya suka berada di Talaud. Terlepas dari isu tsunami yang sempat membuat resah, terdampar di pulau ini memberikan banyak kejutan menyenangkan. Saya menikmati keindahan alam, menemukan cara berkampanye caleg yang unik, merasakan keramahan penduduk, dan melihat sikap menerima hidup apa adanya. Rasanya ingin sering-sering terdampar di tempat seperti ini!



6 comments:

  1. iya kak..kamu masih muda kaya mahasiswa..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahaha... garis bawahi! *lost focus abis2an*

      Delete
  2. Itu biru airnyaaaaa ^o^.. Ya ampuuunnn... bikin pgn nyemplung

    ReplyDelete
    Replies
    1. "surga" banget deehh... panas banget tapi lhoooo, bikin gosong! hahaha

      Delete
  3. Kak ... tempat pelelangan ikan itu kotor banget yaa, banyak sampai di pantai nya. Tolong dibersihin yaa lain kali #dikeplak

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya Kak, begitulah keadaannya.. makanya banyak anjing dan babi liar main-main di persampahan itu sambil cari mamam.. lain kali kak cumi ke sana deh bawa sapu sama pengki ya.. :)))

      Delete