Nov 12, 2015

Meniti Tepi Kaldera Antara Oia dan Fira, Santorini



“Besok kita mulai jalan jam delapan pagi, ya. Supaya nggak terlalu kepanasan di jalan,” kata Diyan, sambil menyiapkan celana pendek yang akan dikenakannya besok.

“Oke. Aku, sih, bisa bangun pagi. Kamu yang susah. Harus mau ya, aku bangunin pagi-pagi!” ujar saya percaya diri.

Kenyataannya, saya tidur terlalu nyenyak di penginapan kami yang nyaman, dan cuaca yang sangat sejuk pagi itu membuat kami malas bergerak. Saya lupa terbangun jam berapa, tapi kami baru siap berjalan pada jam sepuluh pagi, ketika matahari sudah cukup tinggi! Oh, well. The walk must go on!

Pagi itu, di suatu hari cerah di musim semi, kami mulai menyusuri punggung pulau Santorini, berjalan dari kota Oia ke Fira. Pulau yang menjadi icon Yunani ini berbentuk seperti kucing tanpa ekor sedang tidur meringkuk menghadap ke kiri. Oia berada di ujung barat sekaligus utara pulau, atau di lokasi hidung si kucing. Sedangkan Fira berada di perut si kucing, menghadap ke kaldera seperti juga halnya Oia.



Berjalan dari penginapan di jantung kota, kami melewati gang-gang kecil yang dipagari berbagai macam toko, untuk keluar dari Oia. Suasana belum ramai karena jam 10 terhitung masih sangat pagi di kota liburan ini. Meskipun masih sepi, kami sempat berkenalan dengan seorang lelaki Yunani yang bekerja di toko perhiasan, yang menyapa dengan “Apa kabar?”. Ternyata ia membaca tulisan ‘Indonesia’ di kaus saya saat itu, dan ia pernah tinggal bertahun-tahun di Bali! Ternyata lagi, lelaki ini beristrikan seorang perempuan Bali, bernama Kadek, yang bekerja di sebuah spa tak jauh dari sana. Kami sedang terburu-buru, ingin segera menjalani rute trekking sebelum hari menjadi begitu terik, tapi kebetulan yang sangat langka ini harus diabadikan dulu dengan satu atau dua foto.


Bersama Kadek, orang Bali yang bekerja di Santorini. Sama-sama pulau dewata.

Setelah bertukar nama akun Facebook dengan Kadek, perjalanan benar-benar dimulai. Meninggalkan kota Oia, kami disambut pemandangan kaldera di sebelah kanan, dengan permukaan laut Aegea yang tenang dan biru sebiru-birunya. Saya dan Diyan membuat kesepakatan untuk hanya mengeluarkan kamera dari tas setiap setengah jam saja. Karena, kalau tidak, bisa-bisa saya tak berhenti memotret pemandangan yang sangat cantik itu dan entah kapan kami akan sampai di Fira!

Rute perjalanan ini sudah jamak dilakukan para turis di Santorini, baik dari Oia ke Fira ataupun sebaliknya. Jalan setapak sudah tersedia dan terlihat jelas di antara rerumputan dan bebatuan dengan kontur tanah naik turun. Kalau kamu sudah biasa hiking, rute ini mungkin akan terasa seperti jalan-jalan di taman belaka. Namun bagi saya yang tidak biasa hiking, perjalanan ini terasa cukup berat, apalagi ditambah teriknya matahari dan beban perbekalan minum di dalam tas punggung. Jaket yang saya kenakan di pagi hari pun saya simpan di dalam tas karena temperatur udara sudah semakin meninggi, mungkin sampai 25 derajat Celcius.

Leaving Oia

Penunjuk jalan khusus trekking.


Tak perlu pemandu untuk trekking antara Oia dan Fira.



Sesekali kami berpapasan dengan turis yang berjalan dari arah Fira. Sesekali kami disalip oleh turis yang berjalan dari Oia, yang masih muda maupun sudah renta. Kami bahkan bertemu pasangan calon pengantin berparas Asia yang sedang berfoto pranikah di sebuah gereja berkubah biru. Di perjalanan ini, selain jenis tanaman yang tidak biasa saya temukan di Indonesia, saya juga terkesima dengan adanya gereja-gereja di lokasi antah-berantah, jauh dari pemukiman.

Biasanya turis di sini, yang kebanyakan dari Eropa dan Amerika, butuh hanya 2 sampai 3 jam saja untuk menyusuri rute sepanjang 9 kilometer itu. Sedangkan saya butuh dua kali lipatnya, termasuk waktu untuk memotret. Diyan pun menyesuaikan dengan kecepatan – mungkin lebih tepatnya kelambatan – saya berjalan. Medan perjalanan kadang datar, kadang menanjak curam, kadang menurun landai. Di sela-sela napas yang tersengal-sengal, tak henti-hentinya saya mengagumi pemandangan sekeliling. Kaldera yang dikelilingi kepulauan kecil Santorini itu terbentuk dari letusan vulkanik kira-kira 3,600 tahun yang lalu. Sedangkan di sebelah kiri, jalan aspal yang sesekali dilalui mobil serta bus wisata tak cukup menghalangi pemandangan laut Aegea di tenggara kepulau Kyklades ini.

Sebagian trek sudah dibentuk menjadi tangga yang landai.


Hasil memotret sambil tidur-tiduran di pelataran gereja. Capek!


Kira-kira setengah perjalanan barulah kami menemukan sebuah taverna. Kami makan siang di situ sambil menikmati pemandangan kaldera. Rasa makanannya tidak begitu enak, pemilik taverna pun kurang bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan terkesan kurang ramah, tapi saya bersyukur akhirnya menemukan kamar kecil setelah berjam-jam berjalan. Walaupun taverna ini di tengah-tengah rute trek umum, tampaknya waktu itu hanya kami yang berhenti dan ‘mengisi bensin’ di sana.
Lepas makan siang, kami meneruskan perjalanan dengan lebih bersemangat. Pemandangan masih sama dengan sebelumnya dan kami pun belum bosan. Untuk melupakan sedikit rasa lelah, perjalanan kami isi dengan role playing, “main mending” yang saya ciptakan dengan Mumun dan Reno di Sulawesi dulu, merekam video pendek, dan tentunya foto-foto.

Belum pernah melihat tanaman-tanaman ini sebelumnya.


Tak lama kemudian sampailah kami di sebuah area yang tampak seperti pemukiman elite. “Kita sudah sampai di Fira, ya??” tanya saya antusias.

“Hm, kayaknya bukan, deh. Tuh, Fira masih di sana,” sahut Diyan sambil menunjuk ke sisi pulau yang masih jauh di depan. “Kalau menurut peta, sih, ini Imerovigli.”

Agak kecewa karena perjalanan masih panjang, tapi saya juga senang melihat vila-vila mewah dan anggun ini. Kebanyakan bangunannya berdinding putih dengan aksen abu-abu. Kolam renang tampak di beberapa vila, dengan airnya yang biru sejuk, membuat saya ingin mencebur dan berendam! Lalu saya ingat, ketika mencari-cari penginapan untuk di Santorini, saya pernah menyimpulkan bahwa Imerovigli ini area elite karena mahalnya harga sewa kamar di sana dibandingkan daerah lain di Santorini. Konon, pemandangan matahari terbenam dari Imerovigli adalah yang terbaik di Santorini. Sayangnya, entah kenapa kami sedang malas memotret saat melintasi Imerovigli. Mungkin saking terkesima dengan suasananya.

Kurang dari setengah jam kemudian, kami sampai di suatu pemukiman lengkap dengan toko-toko dan gang kecilnya, mirip Oia. Ternyata area itu adalah desa Firostefani, yang menandakan bahwa Fira sudah semakin dekat. Desa ini cakep banget. Jendela-jendela toko didandani dengan bunga-bunga di pot, barang-barang dagangan ditata rapi di tepi gang dengan latar dinding putih, dan vila-vila putih abu-abu di lereng yang lebih mendekat ke tepi kaldera.



Firostefani.

Gang senggol ala Santorini.

Santorini nggak melulu biru dan putih.

Perahu yang sudah pensiun.


Kira-kira apa yang dipikirkan bapak ini?


Lima belas menit kemudian sampailah kami di Fira. Kota terbesar dan teramai di Santorini ini selalu terdengar lucu di telinga saya karena pengucapan namanya yang sama dengan nama saya. Kota ini sedikit lebih berantakan daripada Oia, tapi tetap memiliki gang-gang pertokoan yang menggemaskan. Paralel dengan gang pertokoan utama, terdapat jalan lebih lebar untuk mobil berlalu lalang, dan di situlah kami mengakhiri trekking sambil menikmati suasana riuh rendah penduduk dan turis di pusat kota Fira.

Baca juga: Cerita Vira di Fira

Akhirnya, sampai juga di Fira! Vira di Fira!

Saya suka sekali dengan kata 'taverna'. 

Tante-tante gang yang fabulous.

Touristy? Iya. Apa boleh buat, Santorini memang cantik!

Mbak kasir kedai gyros, yang mirip model-model olshop di Indonesia.




Inilah pengalaman pertama saya berjalan kaki begitu jauhnya. Nggak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan orang Baduy yang jalan kaki 3 hari ke Jakarta, tapi sempat membuat saya ragu pada awalnya. Ternyata berkat kondisi fisik yang sedang baik, sepasang sepatu yang mendukung, Diyan yang selalu menyemangati, dan pemandangan indah di sepanjang jalan, saya pun mampu melewati perjalanan ini dengan riang gembira!


Milestones?


We did it! Our first trekking in Greece! There's more after this one.


Catatan:


- Perjalanan kembali ke Oia kami tempuh dengan naik bus dari stasiun Fira, hanya 2 euro/orang. Juga berlaku untuk rute sebaliknya.
- Bawa minum sendiri karena tidak ada warung atau mini market di sebagian besar rute trekking.


16 comments:

  1. Vira di Fira!

    Ah, fotonya cakep-cakep banget siiiiihh... ini sih jalan kaki seharian gw juga mau kalau pemandangannya kaya gini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Titi, cakep bangettt alamnyaaaa.. :D
      Gue pun walaupun waktu itu kecape'an, pengen lagi sih ngulang trek ini.. hihihi..

      Delete
  2. Wah seru banget!

    Emang enaknya menyusuri dengan trekking ya, tapi ... bisa2 aku nanti tiap sudut foto2 mulu, dan ga sampe2!

    Haha!

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa, timooo! haha itu dia makanya gua mesti ngebatesin keluarin kamera tiap setengah jam doang..hihihi..

      Delete
  3. Ah suka, semoga suatu saat bisa kesini mau senggol senggolan di gang senggol
    jadi meurut kadek, enak di bali atau santorini ???

    ReplyDelete
    Replies
    1. waduh, gak nanyain itu ke kadek..
      iya kak cumz, amiin, semoga kamu bisa ke sana segeraaa dan berkancut merah ria...hihihi

      Delete
  4. Waaa nyesel dulu gak trekking. Waktu itu mo trekking temperatur 40C, naek bis deh, itu aja kepanasan super super banget uda kayak masuk oven. Kayaknya lain kali musti ke Oia lagi tp pas Spring/Autumn gitu yak. Fotonya bagus2 euy!

    ReplyDelete
    Replies
    1. wohh, gila juga ya 40C!! gua juga bakal naik bus aja kalo gitu sih :))
      sulit untuk gak bagus fotonya, soalnya objek alamnya aja udah kece banget, gemes! semoga lain kali bisa ke sana lagi dan gak terlalu panas untuk trekking, ya Aggy :D

      Delete
  5. mau dong santorini.

    Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete
  6. beuuuh, jaraknya lumayan banget, kayak dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo. :P
    tapi, kalau view-nya cakep begitu mah rela banget!

    ReplyDelete
    Replies
    1. eh tapi kalo ranu pane ke ranu kumbolo itu nanjak, bukan?
      kalo yang ini sih cenderung datar..nanjak/turunnya sedikit aja.
      dan, iya.. pemandangannya mantap ya.. :D

      Delete
  7. kak Vira boleh minta contoh surat keterangan kerja yang menyebutkan kalo istri akan ditanggung biayanya selama di perjalanan? aku deg-degan nihh pengen ngurus Schengen dari kedutaan Yunani juga tapi agak ngeri soalnya kok prosesnya lama banget 2 minggu T_T

    ps : sori komennnya di sini, soalnya di artikelnya komenku gak bisa muncul huhuhu

    email : rintaadita@gmail.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku pun baru tau, ada tulisan "Load More" di paling bawah yang bisa di-klik, itu kalo udah banyak banget komennya. Jadi ternyata komen2 kamu muncul semua di situ..hihi.. Udah di-email ya..

      Delete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. wah keren bgt mbak Vira, jalur hiking-nya gampang ga mbak? bawa GPS atau apa gitu? atau ada papan hiking trail yang cukup jelas. Mbaknya ada pergi ke Zakynthos juga ga? maaf banyak nanya :D saya planning ke zakynthos.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo mbak Suci,
      jalur hiking-nya gampang, cuma naik turun aja dikit. Papan penunjuk arah cukup jelas, jalur setapaknya juga jelas. Sayangnya saya nggak ke Zakynthos, euy.

      Delete