Jun 22, 2017

Sebentuk Kehangatan di Plaka, Milos



Deretan meja kursi berwarna-warni berjemur di luar bangunan berdinding putih. Pintu dan jendela tertutup rapat. Tampaknya taverna ini masih tutup walaupun kala itu sudah hampir tengah hari. Hanya seekor kucing makhluk hidup yang tampak di antara kursi-kursi, sibuk menjilat badannya sendiri dengan mata terpicing. Kami berjalan lagi menyusuri gang, sampai ke bangunan yang di luarnya terdapat meja kursi dan pintu yang juga tertutup rapat.

“Sudah buka, belum, ya?” saya bertanya setengah berharap.

Sekelebat bayangan orang terlihat di balik pintu bagian dalam taverna. “Tuh, sudah ada orangnya. Kita duduk aja,” sahut Diyan tanpa beranjak dari tempat ia berdiri.

Kalimera!” sapa seorang pria berkepala plontos di bagian atas, berperut tambun, bermata tajam, yang tiba-tiba saja keluar dari pintu di hadapan kami sambil membawa selembar kertas besar di tangannya.

“Kalimera!” sahut kami, mengikuti kebiasaan orang Yunani dalam bertegur sapa jika hari belum lagi sore. “Are you open?” tanya saya sambil memerhatikan pria itu memasang kertas besar tadi di salah satu meja. Ternyata itu adalah taplak meja sekali pakai. Di tengahnya terdapat gambar sablon bangunan dengan tulisan “Archountoula” dalam aksara Yunani, persis yang tertera di plang bulat di atas salah satu jendela.

Yes. Please, have a seat,” jawabnya, kemudian mengambilkan lembar menu untuk kami. Saya memilih menu dengan daging ikan dan Diyan, seperti biasa, daging ayam dengan kentang goreng. Saat menunggu makanan dimasak, sepasang turis lainnya datang dan duduk di meja belakang saya, mereka bercakap-cakap dalam bahasa Italia. Kami sudah melihat mereka sebelumnya, saat jalan-jalan di sekitar gereja Panagia Korfiatissa, tak jauh dari taverna.

Kursi-kursi masih bersandar ke meja di taverna Archountoula.


Gereja Panagia Korfiatissa berdiri sejak abad ke-19, terkenal karena lukisan al fresco dan peninggalan-peninggalan dari abad ke-17 yang berada di dalamnya. Sayangnya waktu itu pintu gereja terkunci, kami hanya bisa menikmati pemandangan di luarnya. Panagia Korfiatissa yang didekasikan untuk kelahiran Perawan Maria ini hanya satu dari banyaknya gereja yang ada di Plaka, ibukota Pulau Milos dan sekitarnya.

Plaka sendiri merupakan pemukiman yang awalnya dibangun untuk menampung pengungsi yang tak muat lagi di balik tembok Kastro yang didirikan di atas bukit tak jauh dari situ. ‘Plaka’ berarti ‘batu yang datar’ atau bisa diartikan sebagai sebidang tanah datar. Selain di Milos, ada beberapa tempat lagi di Yunani yang dinamakan Plaka, termasuk pusat suvenir yang terkenal di Athena.

Ketika perut mulai keroncongan, kami menyudahi duduk-duduk di depan gereja demi mencari makan siang. Namun kami berjalan santai saja, menyusuri gang-gang pemukiman yang mayoritas berwarna putih dengan aksen biru dan abu-abu. Cantik sekali kota ini. Walaupun ‘tanah datar’, sebagian dari area ini berkontur naik turun landai dengan anak-anak tangga yang lebar dan berbelok-belok. Keindahan Plaka tidak kalah dari Fira ataupun Oia, tapi jauh lebih sepi dari turis. Bukan hanya Plaka, hampir seluruh Pulau Milos demikian.

Panagia Korfiatissa

Gereja dengan pemandangan laut.


Pulang sekolah.

Sepertinya menyenangkan tinggal di tempat seperti ini.

Taverna Archountoula di sebelah kiri.


Pria tadi datang dan menyajikan pesanan kami di meja. Setelah mempersilakan makan dengan senyuman, ia kembali menghilang di balik pintu. Walaupun terasa angin mulai bertiup lebih kencang, saya bersikukuh untuk tetap bersantap di meja luar. “Jarang bisa al fresco begini,” ucap saya yang kemudian dimaklumi Diyan, yang lebih tahan dingin daripada saya.

Selesai makan, ternyata kami mendapat kejutan berupa makanan pencuci mulut yang disajikan di sendok kecil. Rasanya agak asam, sepertinya terbuat dari yogurt, berbeda dengan dessert yang biasanya manis.

Makanan seenak ini, bagi Diyan masih kurang satu hal: sambal.


Hari semakin siang, semakin bertambah turis yang hilir mudik di gang-gang Plaka. Kami pun hendak beranjak walaupun sebenarnya masih nyaman duduk di Archountoula.

“Which way is Kastro?” Diyan bertanya pada pria tadi, yang kami asumsikan adalah pemilik restoran.

Just go down this street,” jawabnya sambil mengarahkan tangannya ke mulut gang, “and then cross the main street, you’ll see a sign that says ‘Kastro’. Then walk up the street and you’ll find stairs. Just go up, you’ll find it.” Ketika kami berpamitan, ia menyahut dengan senyuman dan berkata, “Enjoy!”

Jalan menanjak melalui lorong ini menuju Kastro.


Kastro adalah lokasi wisata yang merupakan rekomendasi dari ibu host Airbnb kami yang baik hati. Setelah berjalan kira-kira setengah jam, lumayan ngos-ngosan saya sesampai di atas. Tapi seperti biasa selama di Yunani, perjalanan yang melelahkan selalu terbayar dengan indahnya pemandangan.

Kastro dibangun pada abad ke-13 di puncak bukit Prophitis Ilias sebagai pemukiman rakyat dan untuk mengawasi gerak-gerak para perompak dan musuh yang berkeliaran di Laut Aegea. Di dalam dindingnya terdapat gereja Mesa Panagia atau Panagia Shiniotissa, yang siang itu terkunci pula. Gereja Panagia Thalassitra, yang berdiri di pelataran yang lebih rendah, menjadi bagian dari pemandangan 360° kami. Latar belakangnya Laut Aegea yang biru dan tanpa ombak. Sayangnya angin tak setenang laut saat itu. Saat memotret, saya harus memastikan tali kamera dikalungkan di leher untuk menghindarinya terguncang dan terjatuh akibat angin yang bukan lagi bertiup, tapi menerpa.

Dulu kala di bukit ini banyak rumah penduduk yang berlindung dari perompak.

Panagia Thalassitra dan Laut Aegea.

Kelihatan kan, anginnya?


Keesokan harinya, sebelum pergi ke Catacombes dan pantai Sarakiniko, kami mampir lagi ke Archountoula untuk makan siang. Pagi yang mendung disambut gerimis di siang hari, membuat baju dan jaket yang sudah berlapis-lapis tak juga terasa hangat, sehingga kami putuskan untuk duduk di dalam restoran.

Si pria pemilik taverna kini tak sendiri, ada seorang perempuan bersamanya, yang kami perkirakan adalah istrinya. Mereka duduk di salah satu meja, melipat-lipat tisu di sela-sela melayani para pengunjung. Seorang anak remaja kemudian masuk dan menghampiri mereka, masih dengan tas sekolahnya. Setelah bercakap-cakap akrab dengan pasangan tadi, anak perempuan itu mengeluarkan buku dan alat tulis, kemudian tampak mengerjakan PR di meja lain. Pemandangan seperti itu jamak saya lihat di restoran-restoran milik keluarga, bukan hanya di Yunani. Ibu dan ayah bekerja, anak pulang sekolah mampir ke restoran dan mengerjakan tugas sekolah, kemungkinan sampai (salah satu) orang tuanya selesai bekerja dan pulang bersamanya.

“Guk!” seekor anjing kecil dengan bulu-bulu yang hampir menutupi matanya menyampirkan kedua kaki depannya di kursi Diyan. Ia tadi masuk ke taverna bersama si anak remaja. Kami bukan penggemar anjing, tapi si gempal fluffy satu ini menggemaskan sekali! Ia meminta chicken fillet yang ada di piring Diyan. Tentu tak kami beri, karena anjing peliharaan begitu biasanya sudah mendapat makanan cukup dari tuannya, dan kami tak mau merusak pendidikan perilakunya.

Menu yang kami pesan hari itu tak berbeda jauh dengan hari sebelumnya. Makanan pencuci mulutnya berbeda, tapi sama-sama agak asam seperti hari sebelumnya. Yang berbeda, hari itu Archountoula lebih ramai pengunjung. Kami mendengar lebih banyak macam bahasa yang diucapkan.


Ayam bakar dan kentang, makan siang saya.

Down, boy!

Mengurus taverna.


Kelar makan, gerimis telah berkembang menjadi hujan. Karena menggunakan motor, kami tak berani untuk keluar dan menerjang cuaca Milos yang berangin plus dingin akibat hujan. Apalagi jalanan di pulau itu kebanyakan terbuka, tak terlindung pepohonan ataupun gedung.

“Can I have a hot tea, please?” Secangkir teh hangat menjadi pilihan saya untuk mengisi waktu menunggu hujan reda, sedangkan Diyan membaca komik di ponselnya. Seekor kucing tiga warna berjalan mendekati meja saya, namun tak mau disentuh. Ia hanya duduk di lantai dekat saya, mungkin juga sedang berlindung dari hujan.

Riuh rendah percakapan para pengunjung taverna terus berlanjut. Tak sampai setengah jam kemudian dari balik kaca jendela saya melihat guratan hujan sudah berkurang, lama-lama hilang.

“Pergi sekarang, yuk. Kalau kesorean takut nanti Catacombes-nya tutup,” ajak Diyan.

Setelah membayar tagihan, kamipun mengucapkan selamat tinggal pada keluarga pemilik restoran, anjing mereka, dan si kucing. Tak disangka-sangka bahwa dari sekian tempat yang kami sambangi di Milos, akhirnya justru taverna Archountoula yang menjadi tempat paling berkesan bagi kami. Kami berjalan keluar, berharap suatu saat bisa mampir ke sana lagi.

























10 comments:

  1. Putih biru di mana-mana, ya.
    Anjingnya cakep, pingin elus-elus kepalanya. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, tipikal yunani ya..

      hihi iya, anjingnya bikin gemes, dan perilakunya sopan :D

      Delete
  2. Anonymous5:10 PM

    anjingnya memelas, huhuhu.
    gue bayangin kalau rumah-rumah di sana dicat putih semua berarti kalau siang-siang terik bakal silau banget, ya, ke mata?
    baca cerita ini rasa-rasanya kayak baru kemarin ke Yunani ya, padahal dah setahun lebih, senang bacanya.

    hmm, jadi teringat Wira yang lagi ke Yunani juga aaaakkk....

    ReplyDelete
    Replies
    1. lucunya, gue gak ingat pernah kesilauan di sana.. mungkin juga karena bahan cat/kapurnya? entahlah.

      biar masih ingat rasanya, gue nulis sambil lihat-lihat foto dan dengerin musik tradisional yunani.. haha..

      Delete
  3. Fotonya banyak dan bagus-bagus Kapiya. Post berikutnya juga banyakin foto yahhhh xD dan karena tulisanmu, Milos masuk bucket listtttttt, cantik <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. padahal ini udah diusahakan gak banyak-banyak amat fotonya, tapi gagal :))
      iyes, milos is so underrated.. entah kenapa..

      Delete
  4. Aaaakkk... itu anjingnya mirip banget anjingku yang terakhir (namanya Gerbang), cuma anjingku jauh lebih gede.

    Gw ga pernah bosen baca cerita Yunani loe, Vir.

    ReplyDelete
  5. Ih lucu namanya Gerbang.. apa dia suka menunggu tamu di gerbang rumah? :D

    Waaahh, makasih ya Tiii.. senang ada yang ga bosen dengan cerita Yunani gua yang gak kelar-kelar iniii :)) Semoga segera bisa nambah lagi ceritanyaa

    ReplyDelete
  6. Iyes, dinamain Gerbang karena waktu bayi hobinya duduk di depan pintu gerbang, nungguin tukang bakso lewat, haha..

    Saudaranya Gerbang, namanya Genta, karena pas kecil brisiiiik banget kaya genta (lonceng). Eh, pas gedenya Genta malah ga bisa gonggong. Entah kenapa suaranya hilang.

    Hahaha, gw kalau cerita anjing bisa panjang lebar :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha.. asal namanya lucu juga kayak namanya . yang Genta jadi puitis ya namanya :D
      ngerti, ngerti.. kalo ngomongin sesuatu yang kita sayang atau sukaaaa banget emang bisa panjang lebar banget.. :'>

      Delete