Jul 21, 2017

The Sun Has Set for Chester Bennington




13 November, 2007.

Siang hari, pesawat yang saya dan teman-teman kantor tumpangi melandas di Changi International Airport, Singapura. Bergegas kami melalu meja imigrasi, lalu menyewa taksi ke Hotel Peninsula Excelsior. Check-in, lalu kami menyimpan tas di kamar hotel. Hanya berselang sekitar 2 jam kemudian saya dan 3 teman, Indri, Lena, dan Martin, menuju Singapore Indoor Stadium dengan bukti pembelian tiket konser Linkin Park.

Saya gembira sekali waktu itu. Memang, saya agak telat menggemari Linkin Park. Ketika di tahun 2004 teman-teman saya seru nonton konser mereka di Jakarta, saya belum menyukai band asal California ini. Saya nggak ingat bagaimana kemudian saya jadi menyukai dan memasukkan lagu-lagu mereka ke playlist saya. Yang saya ingat, vokal Chester adalah salah satu magnet Linkin Park bagi saya. Maka ketika ada trip konferensi di Singapura yang kebetulan dekat tanggalnya dengan konser Linkin Park di Singapura, saya tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Harga tiket kelas festival waktu itu S$150, dengan kurs yang masih jauh lebih murah dari sekarang, tapi tetap cukup mahal bagi saya.

Setelah menukarkan bukti pembelian dengan tiket sesungguhnya, kami masuk ke area konser. Antrean rapi, para penonton tertib, khas Singapura. Saya senang, nggak rusuh walaupun ini konser rock.





Area konser masih terang-benderang. Tribun sudah dipenuhi penonton. Kelas Festival terbagi dua, depan dan belakang, dan saya dan teman-teman di bagian depan, paling dekat ke panggung. Menunggu konser dimulai, kami berfoto-foto dulu menggunakan kamera Martin. Saya cuma bawa kamera yang ada di ponsel waktu itu, waktu masih jelek banget hasil fotonya dibanding ponsel-ponsel masa kini.

Tiba-tiba ruangan gelap. Penonton riuh berteriak dan tepuk tangan, gembira karena konser sudah akan dimulai. Terdengar suara pengumuman peraturan-peraturan selama konser berlangsung dari pengeras suara. Lalu layar panggung ditembak lampu, muncul logo LP yang membuat penonton, termasuk saya, heboh berteriak dan bertepuk tangan.






Intro dari lagu "Wake" terdengar, layar ditembak lampu dari belakang panggung, memunculkan siluet raksasa yang membuat penonton semakin blingsatan. Kemudia kain layar melambai-lambai seperti ditiup angin kencang dan perlahan-lahan tersibak. Formasi Linkin Park sudah standby di posisi masing-masing, kecuali Chester. Seperti biasa, vokalis baru muncul saat verse pertama. Sudah tak terjelaskan lagi bagaimana riuhnya penonton saat Chester muncul. Saya juga sudah nggak peduli lagi bagaimana suasana ruang konser. Saya cuma terfokus pada performa di panggung, dan bagaimana caranya melihat Chester dengan jelas di sela-sela ketiak para penonton Kaukasia yang jangkung-jangkung.

Teman-teman perempuan saya kebanyakan lebih menggandrungi Mike Shinoda karena cakep dan cool. Saya sendiri lebih terkesan dengan Chester, lebih karena vokalnya. Teriak atau bernyanyi biasa, saya merasa ada emosi yang kuat digetarkan dari vokal Chester. Meminjam kata-kata dalam ungkapan duka Chester tentang Chris Cornell yang baru wafat di bulan Mei lalu, “Your voice was joy and pain, anger and forgiveness, love and heartache all wrapped up into one.” Bagi saya, suara Chester persis begitu. Marah, sedih, getir, dan kadang manis sekali. Iya, manis, seperti yang terdengar di lagu "Shadow of the Day", walaupun dalam liriknya terasa kesedihan dan keputusasaan.







Konser berjalan mulus, dengan Chester dan Mike Shinoda bernyanyi bersama dan bergantian. "Papercut",  "Numb", "Breaking the Habit", dan banyak lagi. Terus terang saya nggak hafal lagu apa dari album yang mana. Saya juga nggak begitu memerhatikan aksi anggota band yang lain, walaupun saya tahu bahwa kesempurnaan performa mereka adalah hasil dari kerja sama semuanya.

Chester sebagai vokalis utama nggak banyak basa-basi. Buat sebagian orang, vokalis seharusnya lebih ramah dan suka menyapa penonton. Buat saya, itu nggak penting. Saya puas dengan performa vokal yang prima, nggak kehabisan napas di tengah-tengah lengkingan, dan menyanyikan nada dengan pas. Chester did that. Ke-nggak-basa-basi-annya justru membuat saya merasa dia menyanyikan lirik-lirik getir itu dengan tulus. Entah, ya, apa sebenarnya karena dia lagi lelah saja. Ya, setidaknya itu yang saya rasakan saat menonton.

Di pertengahan konser Chester membuka kemeja merahnya. Berteriak-teriak sambil mondar-mondar di panggung dan disorot lampu panggung, walaupun di ruangan ber-AC, tetap saja membuatnya gerah. Permainan lampu semakin meriah, terutama di bagian refrain lagu. Merah, biru, kuning, ungu, dengan layar latar yang kadang menampilkan logo LP dan kadang polos saja merefleksikan bayangan raksasa para anggota band.

Seperti biasa, para anggota band menghilang tanpa pesan, minta dipanggil untuk encore. Seperti biasa pula, penonton meneriakkan ‘we want more!’, tapi nggak ada ‘cu-ran-mor’ di Singapura. Tentu saya ikut teriak we want more karena memang masih ingin menyaksikan Linkin Park beraksi lagi. Lalu mereka muncul, dan tiga lagu terakhir dikumandangkan. “One Step Closer”, “In The End”, dan “Bleed It Out”. Lalu mereka pamit, berterima kasih pada penonton. Riuh rendah tepuk tangan dan sorak penonton dengan teriakan-teriakan cinta mengantarkan Chester dan kawan-kawan menghilang ke balik layar.






* * *

21 Juli, 2017.

Pagi ini, masih bermalas-malasan di tempat tidur, saya membuka Path di ponsel. Atre memasang tautan artikel berjudul “Breaking News: Linkin Park singer and father-of-six Chester Bennington commits suicide aged 41 on the birthday of his late friend Chris Cornell”. Hah?! Seketika rasa kantuk saya berganti syok. Saya baca artikel itu hingga tuntas, dan mencari berita di beberapa situs lain semacam untuk konfirmasi.

Oh, no. Chester Bennington - saya pun baru tahu nama belakangnya - benar-benar telah meninggal. Ia ditemukan telah menggantung diri di kediamannya ketika sedang sendirian di rumah.

Saya bukan penggemar yang selalu mengikuti perjalanan karier dan kehidupan pribadinya, tapi tak terelakkan mata saya berkaca-kaca demi membaca kisah singkat hidup Chester yang cukup dramatis di artikel-artikel itu. Apakah vokalnya yang emosional dan lirik-lirik lagunya yang banyak kegetiran itu memang teriakan isi hati dan kepala Chester selama ini? A cry for help but nobody could really help, or was he too comfortable in the panic?

Entahlah.

Saya berusaha untuk nggak sok menganalisis hidup Chester Bennington, yang saya kenal pun tidak. Bunuh diri, selama ini saya diajarkan, adalah hal yang sia-sia, berdosa, dan pengecut. Namun, tahu apa saya tentang apa yang dialami orang lain? Ya, nggak jarang saya pun judgmental terhadap orang lain, walaupun saya tahu itu salah. Tapi kalau sudah sampai bunuh diri, saya kira ada sesuatu yang sangat berat yang telah dialaminya; bisa jadi karena pengalamannya sendiri atau karena tidak menemukan dukungan yang cukup dari siapapun dan apapun di sekitarnya.

Dulu Kurt Cobain, kini Chester Bennington. Dua musisi, vokalis, penulis lirik, dan pencipta lagu yang lagu-lagunya telah menemani sebagian hidup saya, yang entah kenapa membuat saya nyaman dengan rasa yang dipancarkan dari musik dan nyanyian mereka.


Rest In Peace, Chester. 



Semua foto dari Martin Altanie.

9 comments:

  1. Yang plg jelas bunuh diri membawa luka kesedihan mendalam bagi keluarga dan kwn2 dekat yg tdk bisa hilang...tragis sekali ya mba. Btw blognya bagus...aku akan sering mampir...��Salam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai, Fiberti.
      Iya, kalau ada yang bunuh diri kita pasti ngebayangin kesedihan bagi keluarga dan kawan-kawan dekatnya. Chester pun kabarnya sedih banget dengan kematian Chris Cornell yang katanya bunuh diri juga. Duh, kelam.

      Makasih ya mau sering mampir :)

      Delete
  2. Anonymous3:27 PM

    sedih banget, musik Linkin Park ini mewarnai masa kecil banget. dan di antara semuanya gue selalu ngefens sama Chester, huhuhu...

    bahkan terinpirasi untuk nindik di bibir gegara Chester. huaaah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya.. setelah kehilangan 2 orang teman dekat, sekarang penyanyi favorit.. :(

      lalu, kenapa tindikan bibirnya gak dipake lagi?

      Delete
  3. Anonymous3:35 PM

    hahaha, malu sama umur, kak, itu berlanjut hingga masa-masa kuliah aja. setelah itu sadar kok gue ngapain nindik di bibir segala, wkwkwk...

    ReplyDelete
  4. Viraaa... sedih beut baca blog post ini.
    Gw dulu punya temen kuliah yang ngefans berat sama Linkin Park, jadi gw lumayan terpapar juga dengan lagu-lagu LP. Sedih juga denger Chester harus mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Apalagi dia bunuh dirinya di hari ulang tahun sahabatnya yang juga meninggal karena bunuh diri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Ti, sedih beneran ini.. ternyata suaranya yang melankolis sekaligus marah itu emang gambaran dari dalam hatinya :(

      Delete